Kamis, 22 Maret 2012

Artikel Nasionalisme Bangsa Indonesia Melalui Pers


Perkembangan pers ditandai dengan terbitnya surat kabar Nasional yang pertama yaitu Medan Priaji. Surat kabar itu diterbitkan oleh R.M. Tirtohadisoeryo pada 1910 dengan menggunakan bahasa melayu. Surat kabar ini dipersembahkan kepada masyarakat pribumi sebagai alat untuk memperjuangkan hak orang kecil. Belanda memandang ide R.M. Tirtohadisoeryo itu membahayakan kedudukannya di Indonesia, maka  tirtohadisoeryo ditangkap dan dibuang ke Bacan, hingga  meninggal pada 17 Agustus 1918 dan dimakamkan di Mangga Besar, Jakarta. Karena jasa-jasanya beliau diakui sebagi Bapak Pers Nasional.
Terbitnya surat kabar Priaji mendorong terbitnya surat kabar lain seperti Cahaya Timur dan Kebangunan di Jakarta, Suara Umum di Surabaya, Sepakat di Bandung, Pewarta Deli di Medan, Utusan Melayu di Padang, Perjuangan di Palembang, Matahari dan Utusan Hindia di Semarang, Pustaka Timur dan Utusan Indonesia di Yogyakarta serta Pewarta Umum dan Bangun di Surakarta.
Lalu muncul tokoh pers dan wartawan terkenal seperti Ki Hajar Dewantara, dr.Sam Ratulangi, dr. Cipto Mangunkusumo, Ir. Soekarno, Moh. Hatta, Sutan Syahrir, dan masih banyak lagi. Mereka menuliskan buah pikirannya demi memperjuangkan nasib rakyat kecil dan bangsa Indonesia untuk mencapai kemerdekaan. Mereka melontarkan berbagai kritik terhadap tindakan pemerintah koloni Belanda yang mengakibatkan kesengsaraan rakyat Indonesia.
Hindai Poetra dan Indonesia Merdeka sangat gencar mengkritik penjajahan Belanda di Indonesia. Keduanya bertujuan untuk menggalang persatuan dan kesatuan rakyat sebagai sarana mencapai Indonesia Merdeka. Mereka sadar bahwa persatuan dan kesatuan merupakan modal dasar untuk melawan penjajahan dari bumi Indonesia.
Kemampuan pers nasional sebagai media massa yang utama membuat pemerintah Belanda bertindak sangat keras, akibatnya pers nasional mengalami kelumpuhan sehingga pers nasional teutama yang radikal sangat sulit untuk memperoleh izin terbit.  Peranan pers sangat besar dalam pergerakan nasional Indonesia. Hal ini membuat pemerintah Belanda sangat khawatir terhadap perkembangan pers di Indonesia, sehingga Belanda sering menangkap dan menghukum tokoh-tokoh pers pada saat itu. Peraturan pers pada jaman Hindia Belanda diatur dalam undang-undang tahun 1856 yaitu Drukpersreglement dan diperbarui pada 1906 sebagi alat pengawas pemerintah Belanda.
Banyaknya surat kabar yang ada di setiap kota di Indonesia dan adanya surat kabar yang isinya menentang pemerintah colonial, maka dikeluarkan undang-undang pers yang baru pada 7 September 1931 dengan nama Persbreidel Ordonantie. Pada undang-undang itu dimuat “pasal-pasal karet” yaitu pasal-pasal yang dapat ditafsirkan menurut keperluan pemerintah Belanda. Pasal-pasal itu dikenal juga sebagai pasal yang dipakai untuk ancaman terhadap penyebarluasan kebencian pada segala macam kritik tergadap pemerintah colonial Belanda. Dilarangnya penerbitan suatu kabar dan para pemimpinnya ditangkap pemerintah colonial karena isinya dianggap menghasut dan merusak ketentraman, keamanan, ketertiban umum. Sejak itu para pemimpin Indonesia yang juga pemimpin surat kabar terpaksa harus keluar masuk penjara, karena dianggap telah melakukan kejahatan pers. Untuk menghindari pemerintah colonial para pemimpin nasional menuliskan namanya dalam surat kabar berupa singkatan.
Pers nasional terus berkembang sejalan dengan berkobarnya semangat kebangkitan nasional setelah berdirinya Budi Utomo. Pers sebagai alat perjuangan yaitu pembangkitdan penyebar cita-cita kemerdekaan, terbit dibawah pimpinan para tokoh perintis kemerdekaan sehingga muncul berbagai surat kabar seperti :
1.      Mataram
Surat kabar ini memuat tentang pendidikan, seni, budaya dan berbagai peristiw seperti penderitaan rakyat, penindasan dan perkembangan pergerakan nasional.
2.      De Expres
Dipimpin oleh Douwes Dekker atau dr. Setyabudi. Tulisan yang dimuat kaitannya dengan pergerakan nasional. Suwardi Suryaningrat menulis “Seandainya Aku Seorang Belanda”, yang menyebabkan harian ini ditutup dan pemimpin tiga serangkai ini ditangkap.
3.      Hindia Poetra
Majalah ini terbit di Belanda dan diedarkan di Indonesia. Majalah ini berisi tentang ide-ide politik para mahasiswa Indonesia yang sedang belajar di Belanda, khususnya anggota perhimpunan Indonesia.
4.      Indonesia Merdeka
Diterbitkan oleh Perhimpunan Indonesia di negeri Belanda yang ditulis dalam bahasa Belanda dan bahasa Melayu. Artikel-artikel ini lebih tegas mengarah pada pergerakan nasional dan kemerdekaan Indonesia. Maka majalah ini yang tadinya bernama Hindia poetra diganti dengan Indonesia Merdeka.
Hindai Poetra dan Indonesia Merdeka sangat gencar mengkritik penjajahan Belanda di Indonesia. Keduanya bertujuan untuk menggalang persatuan dan kesatuan rakyat sebagai sarana mencapai Indonesia Merdeka. Mereka sadar bahwa persatuan dan kesatuan merupakan modal dasar untuk melawan penjajahan dari bumi Indonesia.

  

Kamis, 15 Maret 2012

Makalah Historiografi Masa Revolusi

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar belakang
Historiografi atau penulisan Sejarah ialah cara untuk merekonstruksi suatu gambaran masalampau berdasarkan data yang diperoleh (Hugiono dan Purwantana, 1992:25). Upaya melakukan-rekonstruksi tersebut menggunakan berbagai cara mulai dari mengumpulkan sumber sejaman, wawancara, ataupun bukti-bukti yang mencatat adanya sebuah peristiwa dalam satu waktu di masa lalu.
Penulisan sejarah Indonesia sendiri terbagi atas beberapa tahap yaitu historiografi tradisional, historiografi kolonial, historiografi pasca revolusi dan historiografi modern. Dalam sejarah historiografi Indonesia yang menjadi tonggak penulisan sejarah modern yang  lebih objektif ialah historiografi Pasca revolusi.
Historiografi pada masa revolusi banyak sekali tulisan-tulisan yang berkembang dan ditulis oleh sejarawan-sejarawan Nasional pada masa itu.  Penulisan-penulisan tersebut dilakukan salah satunya ialah untuk meningkatkan rasa nasionalisme masyarakat Indonesia yang saat itu sedang menginjak masa-masa kebebasan dari belenggu penjajajah.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa ciri-ciri historiografi masa revolusi?
2.      Apa saja contoh tulisan sejarah masa revolusi ?
3.      Apa Pengaruh historiografi masa revolusi terhadap Historiografi Modern ?

C.     Tujuan Pembahasan
1.      Mampu mengerjakan tugas kelompok mata kuliah Historiografi
2.      Mengetahui ciri-ciri historiografi masa revolusi
3.      Mengetahui contoh tulisan sejarah masa revolusi.
4.      Pengaruh historiografi masa revolusi terhadap Historiografi Modern


BAB II
PEMBAHASAN

Revolusi ialah suatu perubahan yang sangat cepat, yaitu suatu keadaan, karena suatu hal, mengalami perubahan dengan cepat. Perubahan ini bisa menuju pada perubahan yang lebih baik dari yang sebelumnya, atau bahkan sebaliknya.  Penulisan sejarah atau yang disebut historiografi pada masa revolusi di mulai pada masa pasca kemerdekaan, yaitu pada tahun 1945. Objek kajian historiografi pada masa revolusi menceritakan tokoh-tokoh pahlawan dan menceritakan peristiwa penting mengenai proklamasi kemerdekaan. Penilaian sejarah  yang paling baik dan mendekati keseimbangan uraian ialah yang tercakup dalam sebelas jilid Sekitar Perang Kemerdekaan, karya A.H. Nasution (1977:8).
Penulisan pada masa revolusi ini merupakan historiografi peralihan dari historiografi tradisional ke historiografi modern. Peralihan historiografi ini menunjukkkan bahwa dari bangsa Indonesia sendiri memiliki orang-orang yang mau menulis peristiwa sejarah yang benar sesuai fakta. Dalam historigrafi masa revolusi banyak sejarawan indonesia yang menulis historiografi .( Wiliam H. Frederick, 1982: 174).

A.    Ciri-ciri Historiografi Masa Revolusi
Dalam setiap perkembangannya Historiografi di Indonesia memiliki ciri khas tersendiri baik dalam tulisan maupun tata cara penulisannya, begitu juga yang terjadi dalam  penulisan sejarah pasca revolusi. Menurut Sartono Kartodirjo dalam bukunya Pemikiran dan Perkembangan Historiografi Indonesia (1982:23) Literatur sejarah sejak Proklamasi mengalami “booming period”, hal yang belum pernah terjadi dalam sejarah historiografi Indonesia.
Historiografi pada masa revolusi memiliki banyak ciri yang membedakannya dengan  historiografi pada masa sebelumnya maupun sesesudahnya. Adapun ciri historiografi pada masa revolusi ialah sebagai berikut:
1.      Penulisannya bersifat Indonesiasentris bukan Eropasentris.
2.      Banyak biografi dari tokoh maupun pahlawan nasional yang diterbitkan, seperti Teuku umar, Imam Bonjol, Patimura, Diponegoro, dan masih banyak lainnya.
3.      Tulisan merupakan ekspresi dalam semangat nasionalistis yang berkobar-kobar dalam periode post revolusi.
4.      Tokoh-tokoh nasional menjadi simbol kenasionalan serta menjadi indentitas bangsa yang menghilang pada masa kolonial. (Kartodirjo, 1982:23)
Jenis penulisan-penulisan pada masa revolusi perlu kita hargai dalam hubungannya dengan fungsi sosio-politik, yaitu untuk membangkitkan rasa nasionalisme pada masa itu.
Sementara menurut Danar Widayanto mengatakan bahwa ciri-ciri historiografi pada masa revolusi ialah:
1.      Dalam penulisannya telah menggunakan metodolog yang bener
2.      Hasil tulisan sejarahnya runtut.maksudnya tidak hanya menceritakan alur cerita yang panjang lebar tapi menuliskan sebab-akibat dari suatu peristiwa sesuai dengan fakta yang ada.
 
B.     Karya-karya pada masa  Revolusi
Pada masa revolusi muncul karangan yang menunjukkan betapa ciri-ciri nasionalisme mendominasi karangan pada masa itu (Kartodirjo, 1982: 23). Karangan-karangan yang ada pada masa revolusi diantaranya sebagai berikut:
1. Nasution “Sekitar Perang Kemerdekaan”
2. M. Dimyati “Sejarah Perjuangan Indonesia”
3. Nasution “Perang Gerilya”
4. Mohammad Yamin “6000 Tahun Sang Merah Putih”
5. Mohammad Yamin “Gajah Mada”
6. Mohammad Yamin “Diponegoro”

C.    Pengaruh historiografi masa revolusi terhadap Historiografi Modern
Sejak tercapainya kemerdekaan Indonesia, Sejarah Nasional menjadi keperluan yang sangat penting terutama dalam bidang pendidikan karena Sejarah Nasional memegang peranan penting dalam menggalang kesadaran nasional kepada pelajar (Kartodirjo, 1982: 29). Historiografi kolonial tidak relevan lagi dengan cerita tentang masa lampau bangsa Indonesia, maka pemikiran baik sebelum maupun sesudah  Seminar Sejarah Nasional pertama di Yogyakarta pada akhir tahun 1957 telah brhasil menerobos kerangka kolonial dari dari Sejarah Indonesia serta mengganti pandangan Eropasentris ke Indonesiasentris.
Penulis sejarah pada masa pergerakan ini adalah dalam rangka pencarian subyektifitas dari peristiwa sejarah masa lampau. Masa lampau dipelajari bukan hanya untuk pengetahuan semata, tapi juga demi suatu peristiwa yang bisa dijadikan pelajaran pada masa sekarang. Karena peristiwa sejarah itu memiliki keistimewaan yaitu peristiwanya terjadi hanya satu kali saja. Jadi dalam menggali kembali sejarah masa lampau harus benar-benar teliti supaya tidak terjadi kerancauan di kemudian hari.
Sejarah pada zaman revolusi ini terjadi ketika Indonesia mulai adanya pergerakan untuk mencapi suatu kemerdekaan. Penulisan ini dilakukan hanya untuk mendapatkan kebenaran akan kejadian masa lampau dengan adanya metodologi dalam penulisannya.


BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Historiografi pada masa revolusi di mulai pada masa pasca kemerdekaan, yaitu pada tahun 1945. Objek kajian historiografi pada masa revolusi menceritakan tokoh-tokoh pahlawan dan menceritakan peristiwa penting mengenai proklamasi kemerdekaan. Ciri-ciri historiografi pada masa revolusi: penulisannya bersifat Indonesiasentris bukan Eropasentris, banyak biografi dari tokoh maupun pahlawan nasional yang diterbitkan, seperti Teuku umar, Imam Bonjol, Patimura, Diponegoro, dan masih banyak lainnya, tulisan merupakan ekspresi dalam semangat nasionalistis yang berkobar-kobar dalam periode post revolusi, tokoh-tokoh nasional menjadi simbol kenasionalan serta menjadi indentitas bangsa yang menghilang pada masa kolonial. Karangan-karangan yang ada pada masa revolusi seperti: M. Dimyati “Sejarah Perjuangan Indonesia”, Nasution “Perang Gerilya” dan Mohammad Yamin “6000 Tahun Sang Merah Putih”.