Perkembangan
pers ditandai dengan terbitnya surat kabar Nasional yang pertama yaitu Medan
Priaji. Surat kabar itu diterbitkan oleh R.M. Tirtohadisoeryo pada 1910 dengan
menggunakan bahasa melayu. Surat kabar ini dipersembahkan kepada masyarakat
pribumi sebagai alat untuk memperjuangkan hak orang kecil. Belanda memandang ide
R.M. Tirtohadisoeryo itu membahayakan kedudukannya di Indonesia, maka tirtohadisoeryo ditangkap dan dibuang ke
Bacan, hingga meninggal pada 17 Agustus
1918 dan dimakamkan di Mangga Besar, Jakarta. Karena jasa-jasanya beliau diakui
sebagi Bapak Pers Nasional.
Terbitnya
surat kabar Priaji mendorong terbitnya surat kabar lain seperti Cahaya Timur
dan Kebangunan di Jakarta, Suara Umum di Surabaya, Sepakat di Bandung, Pewarta
Deli di Medan, Utusan Melayu di Padang, Perjuangan di Palembang, Matahari dan
Utusan Hindia di Semarang, Pustaka Timur dan Utusan Indonesia di Yogyakarta
serta Pewarta Umum dan Bangun di Surakarta.
Lalu
muncul tokoh pers dan wartawan terkenal seperti Ki Hajar Dewantara, dr.Sam
Ratulangi, dr. Cipto Mangunkusumo, Ir. Soekarno, Moh. Hatta, Sutan Syahrir, dan
masih banyak lagi. Mereka menuliskan buah pikirannya demi memperjuangkan nasib
rakyat kecil dan bangsa Indonesia untuk mencapai kemerdekaan. Mereka
melontarkan berbagai kritik terhadap tindakan pemerintah koloni Belanda yang
mengakibatkan kesengsaraan rakyat Indonesia.
Hindai
Poetra dan Indonesia Merdeka sangat gencar mengkritik penjajahan Belanda di
Indonesia. Keduanya bertujuan untuk menggalang persatuan dan kesatuan rakyat
sebagai sarana mencapai Indonesia Merdeka. Mereka sadar bahwa persatuan dan
kesatuan merupakan modal dasar untuk melawan penjajahan dari bumi Indonesia.
Kemampuan
pers nasional sebagai media massa yang utama membuat pemerintah Belanda
bertindak sangat keras, akibatnya pers nasional mengalami kelumpuhan sehingga
pers nasional teutama yang radikal sangat sulit untuk memperoleh izin
terbit. Peranan pers sangat besar dalam
pergerakan nasional Indonesia. Hal ini membuat pemerintah Belanda sangat
khawatir terhadap perkembangan pers di Indonesia, sehingga Belanda sering
menangkap dan menghukum tokoh-tokoh pers pada saat itu. Peraturan pers pada
jaman Hindia Belanda diatur dalam undang-undang tahun 1856 yaitu
Drukpersreglement dan diperbarui pada 1906 sebagi alat pengawas pemerintah
Belanda.
Banyaknya
surat kabar yang ada di setiap kota di Indonesia dan adanya surat kabar yang
isinya menentang pemerintah colonial, maka dikeluarkan undang-undang pers yang
baru pada 7 September 1931 dengan nama Persbreidel Ordonantie. Pada
undang-undang itu dimuat “pasal-pasal karet” yaitu pasal-pasal yang dapat
ditafsirkan menurut keperluan pemerintah Belanda. Pasal-pasal itu dikenal juga
sebagai pasal yang dipakai untuk ancaman terhadap penyebarluasan kebencian pada
segala macam kritik tergadap pemerintah colonial Belanda. Dilarangnya
penerbitan suatu kabar dan para pemimpinnya ditangkap pemerintah colonial
karena isinya dianggap menghasut dan merusak ketentraman, keamanan, ketertiban
umum. Sejak itu para pemimpin Indonesia yang juga pemimpin surat kabar terpaksa
harus keluar masuk penjara, karena dianggap telah melakukan kejahatan pers.
Untuk menghindari pemerintah colonial para pemimpin nasional menuliskan namanya
dalam surat kabar berupa singkatan.
Pers
nasional terus berkembang sejalan dengan berkobarnya semangat kebangkitan
nasional setelah berdirinya Budi Utomo. Pers sebagai alat perjuangan yaitu
pembangkitdan penyebar cita-cita kemerdekaan, terbit dibawah pimpinan para
tokoh perintis kemerdekaan sehingga muncul berbagai surat kabar seperti :
1. Mataram
Surat
kabar ini memuat tentang pendidikan, seni, budaya dan berbagai peristiw seperti
penderitaan rakyat, penindasan dan perkembangan pergerakan nasional.
2. De
Expres
Dipimpin
oleh Douwes Dekker atau dr. Setyabudi. Tulisan yang dimuat kaitannya dengan
pergerakan nasional. Suwardi Suryaningrat menulis “Seandainya Aku Seorang Belanda”,
yang menyebabkan harian ini ditutup dan pemimpin tiga serangkai ini ditangkap.
3. Hindia
Poetra
Majalah
ini terbit di Belanda dan diedarkan di Indonesia. Majalah ini berisi tentang
ide-ide politik para mahasiswa Indonesia yang sedang belajar di Belanda,
khususnya anggota perhimpunan Indonesia.
4. Indonesia
Merdeka
Diterbitkan
oleh Perhimpunan Indonesia di negeri Belanda yang ditulis dalam bahasa Belanda
dan bahasa Melayu. Artikel-artikel ini lebih tegas mengarah pada pergerakan
nasional dan kemerdekaan Indonesia. Maka majalah ini yang tadinya bernama
Hindia poetra diganti dengan Indonesia Merdeka.
Hindai
Poetra dan Indonesia Merdeka sangat gencar mengkritik penjajahan Belanda di
Indonesia. Keduanya bertujuan untuk menggalang persatuan dan kesatuan rakyat
sebagai sarana mencapai Indonesia Merdeka. Mereka sadar bahwa persatuan dan
kesatuan merupakan modal dasar untuk melawan penjajahan dari bumi Indonesia.