Sabtu, 05 Mei 2012

Komunikasi Kelompok


Pengertian Komunikasi Kelompok
            Komunikasi kelompok adalah komunikasi yang berlangsung antara beberapa orang dalam suatu kelompok “kecil” seperti dalam rapat, pertemuan, konperensi dan sebagainya (Anwar Arifin, 1984). Michael Burgoon (dalam Wiryanto, 2005) mendefinisikan komunikasi kelompok sebagai interaksi secara tatap muka antara tiga orang atau lebih, dengan tujuan yang telah diketahui, seperti berbagi informasi, menjaga diri, pemecahan masalah, yang mana anggota-anggotanya dapat mengingat karakteristik pribadi anggota-anggota yang lain secara tepat. Kedua definisi komunikasi kelompok di atas mempunyai kesamaan, yakni adanya komunikasi tatap muka, dan memiliki susunan rencana kerja tertentu umtuk mencapai tujuan kelompok.
Kelompok adalah sekumpulan orang yang mempunyai tujuan bersama yang berinteraksi satu sama lain untuk mencapai tujuan bersama, mengenal satu sama lainnya, dan memandang mereka sebagai bagian dari kelompok tersebut (Deddy Mulyana, 2005). Kelompok ini misalnya adalah keluarga, kelompok diskusi, kelompok pemecahan masalah, atau suatu komite yang tengah berapat untuk mengambil suatu keputusan. Dalam komunikasi kelompok, juga melibatkan komunikasi antarpribadi. Karena itu kebanyakan teori komunikasi antarpribadi berlaku juga bagi komunikasi kelompok.
a.    Komunikasi kelompok kecil (small group communication)
Adalah sekumpulan individu yang cukup kecil bagi semua anggota untuk berkomunikasi secara relative mudah baik bagi pengirim maupun penerima informasi. Misalnya komunikasi antar seorang manager atau administrator dengan sekelompok karyawan yang memungkinkan terdapatnya kesempatan bagi salah seorang untuk memberikan tanggapan secara verbal. Dengan kata lain komunikasi kelompok kecil si pemimpin dapat melakukan komunikasi anatarpersonal dengan salah seorang peserta kelompok.
Menurut Robert F Bales dalam bukunya Interaction Process Analysis, mendefinisikan kelompok kecil adalah:
       Sejumlah orang yang terlibat dalam interaksi satu sama lain dalam suatu pertemuan yang bersifat tatap muka (face to face meeting) dimana setiap peserta mendapat kesan atau penglihatan antara satu sama lainnya yang cukup kentara, sehingga dia baik pada saat timbulnya pertanyaan maupun sesudahnya dapat memberikan tanggapan kepada masing-masing sebagai perseorangan.”
Keuntungan berkomunikasi dengan kelompok kecil:
Ø  Terdapat kontak pribadi
Ø  Umpan balik bersifat langsung
Ø  Suasana lingkungan komunikasi dapat diketahui
Kerugiannya:
Ø  Frame or reference komunikasi tidak diketahui secara individual
Ø  Kondisi fisik dan mental komunikan tidak dipahami secara individual.
b.    Komunikasi kelompok besar (large group communication)
Adalah kelompok komunikan yang karena jumlahnya banyak dalam suatu situasi komunikasi hamper tidak terdapat kesempatan untuk memberikan tanggapan secara verbal. Dalam komunikasi internal suatu perusahaan jarang sekali terjadi komunikasi kelompok besar kecuali dalam upacara bendera yang sering digunakan oleh seorang kepala atau pemimpin untuk memberikan informasi yang sifatnya umum dan berkaitan dengan kepentingan seluruh karyawan.
Klasifikasi kelompok dan karakteristik komunikasinya.
Telah banyak klasifikasi kelompok yang dilahirkan oleh para ilmuwan sosiologi, namun dalam kesempatan ini kita sampaikan hanya tiga klasifikasi kelompok.
1.        Kelompok primer dan sekunder.
Charles Horton Cooley pada tahun 1909 (dalam Jalaludin Rakhmat, 1994) mengatakan bahwa kelompok primer adalah suatu kelompok yang anggota-anggotanya berhubungan akrab, personal, dan menyentuh hati dalam asosiasi dan kerja sama. Sedangkan kelompok sekunder adalah kelompok yang anggota-anggotanya berhubungan tidak akrab, tidak personal, dan tidak menyentuh hati kita.
Jalaludin Rakhmat membedakan kelompok ini berdasarkan karakteristik komunikasinya, sebagai berikut:
·         Kualitas komunikasi pada kelompok primer bersifat dalam dan meluas. Dalam, artinya menembus kepribadian kita yang paling tersembunyi, menyingkap unsur-unsur backstage (perilaku yang kita tampakkan dalam suasana privat saja). Meluas, artinya sedikit sekali kendala yang menentukan rentangan dan cara berkomunikasi. Pada kelompok sekunder komunikasi bersifat dangkal dan terbatas.
·         Komunikasi pada kelompok primer bersifat personal, sedangkan kelompok sekunder nonpersonal.
·         Komunikasi kelompok primer lebih menekankan aspek hubungan daripada aspek isi, sedangkan kelompok primer adalah sebaliknya.
·         Komunikasi kelompok primer cenderung ekspresif, sedangkan kelompok sekunder instrumental.
·         Komunikasi kelompok primer cenderung informal, sedangkan kelompok sekunder formal.
2.        Kelompok keanggotaan dan kelompok rujukan.
Theodore Newcomb (1930) melahirkan istilah kelompok keanggotaan (membership group) dan kelompok rujukan (reference group). Kelompok keanggotaan adalah kelompok yang anggota-anggotanya secara administratif dan fisik menjadi anggota kelompok itu. Sedangkan kelompok rujukan adalah kelompok yang digunakan sebagai alat ukur (standard) untuk menilai diri sendiri atau untuk membentuk sikap.
Menurut teori, kelompok rujukan mempunyai tiga fungsi: fungsi komparatif, fungsi normatif, dan fungsi perspektif. Saya menjadikan Islam sebagai kelompok rujukan saya, untuk mengukur dan menilai keadaan dan status saya sekarang (fungsi komparatif). Islam juga memberikan kepada saya norma-norma dan sejumlah sikap yang harus saya miliki-kerangka rujukan untuk membimbing perilaku saya, sekaligus menunjukkan apa yang harus saya capai (fungsi normatif). Selain itu, Islam juga memberikan kepada saya cara memandang dunia ini-cara mendefinisikan situasi, mengorganisasikan pengalaman, dan memberikan makna pada berbagai objek, peristiwa, dan orang yang saya temui (fungsi perspektif). Namun Islam bukan satu-satunya kelompok rujukan saya. Dalam bidang ilmu, Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia (ISKI) adalah kelompok rujukan saya, di samping menjadi kelompok keanggotaan saya. Apapun kelompok rujukan itu, perilaku saya sangat dipengaruhi, termasuk perilaku saya dalam berkomunikasi.
3. Kelompok deskriptif dan kelompok preskriptif
John F. Cragan dan David W. Wright (1980) membagi kelompok menjadi dua:
·         Kategori deskriptif menunjukkan klasifikasi kelompok dengan melihat proses pembentukannya secara alamiah. Berdasarkan tujuan, ukuran, dan pola komunikasi, kelompok deskriptif dibedakan menjadi tiga: a. kelompok tugas; b. kelompok pertemuan; dan c. kelompok penyadar. Kelompok tugas bertujuan memecahkan masalah, misalnya transplantasi jantung, atau merancang kampanye politik. Kelompok pertemuan adalah kelompok orang yang menjadikan diri mereka sebagai acara pokok. Melalui diskusi, setiap anggota berusaha belajar lebih banyak tentang dirinya. Kelompok terapi di rumah sakit jiwa adalah contoh kelompok pertemuan. Kelompok penyadar mempunyai tugas utama menciptakan identitas sosial politik yang baru. Kelompok revolusioner radikal; (di AS) pada tahun 1960-an menggunakan proses ini dengan cukup banyak.
·         Kelompok preskriptif, mengacu pada langkah-langkah yang harus ditempuh anggota kelompok dalam mencapai tujuan kelompok. Cragan dan Wright mengkategorikan enam format kelompok preskriptif, yaitu: diskusi meja bundar, simposium, diskusi panel, forum, kolokium, dan prosedur parlementer.
Pengaruh kelompok pada perilaku komunikasi
1.      Konformitas.
Konformitas adalah perubahan perilaku atau kepercayaan menuju (norma) kelompok sebagai akibat tekanan kelompok-yang real atau dibayangkan. Bila sejumlah orang dalam kelompok mengatakan atau melakukan sesuatu, ada kecenderungan para anggota untuk mengatakan dan melakukan hal yang sama. Jadi, kalau anda merencanakan untuk menjadi ketua kelompok,aturlah rekan-rekan anda untuk menyebar dalam kelompok. Ketika anda meminta persetujuan anggota, usahakan rekan-rekan anda secara persetujuan mereka. Tumbuhkan seakan-akan seluruh anggota kelompok sudah setuju. Besar kemungkinan anggota-anggota berikutnya untuk setuju juga.
2.      Fasilitasi sosial.
Fasilitasi (dari kata Prancis facile, artinya mudah) menunjukkan kelancaran atau peningkatan kualitas kerja karena ditonton kelompok. Kelompok mempengaruhi pekerjaan sehingga menjadi lebih mudah. Robert Zajonz (1965) menjelaskan bahwa kehadiran orang lain-dianggap-menimbulkan efek pembangkit energi pada perilaku individu. Efek ini terjadi pada berbagai situasi sosial, bukan hanya didepan orang yang menggairahkan kita. Energi yang meningkat akan mempertingi kemungkinan dikeluarkannya respon yang dominan. Respon dominan adalah perilaku yang kita kuasai. Bila respon yang dominan itu adalah yang benar, terjadi peningkatan prestasi. Bila respon dominan itu adalah yang salah, terjadi penurunan prestasi. Untuk pekerjaan yang mudah, respon yang dominan adalah respon yang banar; karena itu, peneliti-peneliti melihat melihat kelompok mempertinggi kualitas kerja individu.
3.      Polarisasi.
Polarisasi adalah kecenderungan ke arah posisi yang ekstrem. Bila sebelum diskusi kelompok para anggota mempunyai sikap agak mendukung tindakan tertentu, setelah diskusi mereka akan lebih kuat lagi mendukung tindakan itu. Sebaliknya, bila sebelum diskusi para anggota kelompok agak menentang tindakan tertentu, setelah diskusi mereka akan menentang lebih keras.
Faktor-faktor yang mempengaruhi keefektifan kelompok
Anggota-anggota kelompok bekerja sama untuk mencapai dua tujuan: a. melaksanakan tugas kelompok, dan b. memelihara moral anggota-anggotanya. Tujuan pertama diukur dari hasil kerja kelompok-disebut prestasi (performance) tujuan kedua diketahui dari tingkat kepuasan (satisfacation). Jadi, bila kelompok dimaksudkan untuk saling berbagi informasi (misalnya kelompok belajar), maka keefektifannya dapat dilihat dari beberapa banyak informasi yang diperoleh anggota kelompok dan sejauh mana anggota dapat memuaskan kebutuhannya dalam kegiatan kelompok.
Untuk itu faktor-faktor keefektifan kelompok dapat dilacak pada karakteristik kelompok, yaitu:
  1. ukuran kelompok.
  2. jaringan komunikasi.
  3. kohesi kelompok.
  4. kepemimpinan (Jalaluddin Rakhmat, 1994).




Daftar pustaka
Anwar Arifin, 1984, Strategi Komunikasi: Suatu Pengantar Ringkas, Bandung: Armico
Deddy Mulyana, 2005, Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar, Bandung: Remaja Rosdakarya.
Jalaludin Rakhmat, 1994, Psikologi Komunikasi, Bandung: Remaja Rosdakarya.
Littlejohn, 1999, Theories of Human Communication, Belmont, California: Wadsworth Publishing Company.
Wiryanto, 2005, Pengantar Ilmu Komunikasi, Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia.

Resensi buku Pengantar Sejarah Indonesia


Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan Nasional
dari Kolonialisme sampai Nasionalisme (Jilid 2)

Sartono Kartodirdjo lahir di Wonogiri 15 Februari 1921. Beliau adalah Guru Besar Ilmu Sejarah pada Universitas Gajah Mada dan anggota Dewan Riset Nasional. Beliau Tamat dari Jurusan Sejarah Universitas Indonesia tahun 1956, lalu melanjutkan studi dan memperoleh gelar MA dari Yale University Amerika Serikat, dibawah bimbingan Prof.Hary J. Benda. Pada tahun 1966 beliau meraih gelar doktor dari Universitas Amsterdam dengan promotor Prof. Wertheim dari Departemen of Sociology and Modern History of Southeast Asia, Universitas Amsterdam.[1] Tesis yang berjudul “The Peasant’s Revolt of Bantam in 1888” berhasil dipertahankan dengan predikat cum laude. Karya tersebut diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul “Pemberontakan Petani Banten 1888”.
Pengalaman dalam jabatan forum ilmiah antara lain Ketua Umum Seminar Sejarah Nasional II (1970): President International Conference of International Association for History of Asia (IAHA) tahun 1971-1974. Beliau aktif dalam berbagai konfrenesi IAHA di Singapura (1961), Kuala Lumpur (1968), Manila (1971),  Oriental Conggres di Canberra (1971) dan Paris (1973), serta mengikuti Seminar on Peasant Organization di New York (1975).
Prof. Sartono Kartodirdjo termasuk sejarawan yang memiliki reputasi nasional maupun internasional. Beliau seorang sejarawan yang sangat produktif, banyak menulis karya ilmiah baik yang diterbitkan di dalam maupun di luar negeri. Banyak menulis dalam media massa maupun jurnal-jurnal ilmiah. Salah satu buku karya Sartono Kartodirjo yaitu yang berjudul “Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan Nasional dari Kolonialisme sampai Nasionalisme Jilid 2. Buku ini merupakan cetakan ketiga pada Oktober 1993, yang diterbitkan oleh PT Gramedia Putaka Utama, Jakarta. Buku ini terdiri dari 9 bab pembahasan. Bab pertama membahas tentang politik kolonial Belanda abad ke-19. Bab kedua membahas politik kolonial Belanda antara perang dunia I dan perang dunia II. Bab tiga membahas kehidupan kekotaan, bab empat tentang tradisi dan modernisasi. Bab lima membahas perkembangan politik dan pertumbuhan organisasi politik, bab enam tentang suasana baru sesudah 1926. Bab tujuh membahas krisis dunia dan politik, bab delapan membahas stratifikasi sosial pada masyarakat kolonial dan bab sembilan membahas tentang sejarah analitik struktural nasionalisme Indonesia.
Sartono menulis buku pengantar sejarah Indonesia baru menggunakan bebagai sumber yaitu sumber buku asing, majalah asing dan dokumen berupa tabel. Sumber dokumen berupa tabel ini seperti tabel jumlah sekolah, pengajar dan siswa pada sekolah berbahasa Belanda bagi penduduk pribumi Hindia Belanda tahun 1935.[2] Tujuan penulis yaitu mengemukakan garis besar masalah-masalah sejarah dari pergerakan nasional di Indonesia. Penulis juga tidak menggunakan metode kronologis karena lingkupnya terbatas.
Sudut pandang penulis lebih condong ke orang-orang pribumi. Penulis mengatakan bahwa rakyat Indonesia lebih diperlakukan sebagai objek oleh Belanda dari pada sebagai partisipan yang ikut aktif memegang pemerintahan.[3] Diskriminasi ras terdapat hampir pada setiap bagian kehidupan sosial, golongan pribumi ada pada lapisan bawah sedangkan orang Eropa ada pada lapisan atas.
Sartono menulis buku pengantar sejarah Indonesia baru memiliki beberapa kelemahan yaitu banyak menggunakan kalimat yang tidak efektif seperti pada kalimat berikut: dengan demikian, sudah barang tentu timbullah penyimpangan-penyimpangan serta penyalahgunaan perjuangan dan nama Sarekat Islam.[4] Selain itu, masih ada beberapa kata lagi yang tidak efektif yaitu kata bahwa adalah dan dalam pada itu. Penulis sering menggunakan kata penggubung di awal kalimat seperti karena, di, yang dan dengan. Penulisannya banyak yang tidak sesuai dengan EYD (Ejaan Yang Disempurnakan), contoh: personel, pelbagai dan konperensi. Selain itu, Penggunaan tanda baca yang tidak sesuai dengan penempatannya, seharusnya menggunakan tanda baca (,) koma tetapi malah menggunakan tanda baca (;) titik koma.
Meskipun buku karya Sartono ini terdapat kelemahan, tetapi juga mempunyai kelebihan yaitu penulis sudah menggunakan sumber-sumber yang lengkap baik sumber buku, majalah maupun dokumen berupa tabel atau data statistik. Selain itu, penulisan singkatan selalu disertai dengan penjabarannya.


[1] Sartono, kartodirjo, 1993, Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan Nasional dari Kolonialisme sampai Nasionalisme, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, hlm, 277.
[2] Ibid., hlm, 78.
[3] Ibid., hlm, 253.
[4] Ibid., hlm, 107.